SebelahMata

Sunday, November 28, 2010

Luka Merapi

Bencana dari negeri air mata,
Ratusan ribu jiwa pergi mendahului kita,
Bara luka kobarka
n cinta rasa bersama,
Bara luka ciptakan satu pelita...

Marjinal - Luka Kita


Merapi. Gunung itu kembali mengeluarkan awan panasnya....Sampai saat ini lebih dari 100 jiwa tewas akibat tersapu awan panas yang bersuhu sekitar 600 derajat celcius. Salah satu desa terparah yang terkena dampaknya adalah Desa Balerante Kec. Kemalang Kab. Klaten yang berjarak 5 km dari puncak. Sebelumnya penduduk diungsikan ke barak yang terletak di desa ini, berhubung zona bahaya diperluas menjadi 20 km, pengungsi dipindahkan ke SMA 3 Klaten. Di posko ini terdapat sekitar 1300 orang pengungsi, sebagian besar berasal dari desa Balerante, namun ada juga dari desa Manisrenggo dan Bawukan.

Rasa prihatin yang mendalam ketika saya pertama datang ke posko pengungsian ini, bagaimana tidak ? Satu RT ditampung menjadi satu di ruangan-ruangan kelas yang sempit, tampak sekali warganya yang tidur beralaskan tikar, berhimpitan, dengan yang lain, adapula yang tidur di luar karena tidak dapat tempat. Sesekali dari jauh terdengar suara menggelegar sang Merapi, perasaan cemas dan takut sempat menghinggapi diri saya walaupun saat ini berada di zona aman. Ketika malam sudah larut, seorang teman mengajak saya untuk patroli ke atas, di sepanjang jalan terlihat rumah-rumah yang sudah kosong ditinggal penghuninya, tampak dari kejauhan sang Merapi memuntahkan lava pijarnya, hal ini menjadi tontonan warga dan relawan yang masih berjaga. Perjalanan terpaksa kami hentikan karena bensin yang tidak mencukupi, selain itu juga bau belerang sudah semakin terasa di sini.

Balerante

Saya tidak menyangka
, gunung yang pernah saya injak puncaknya kini telah meletus dan merenggut ratusan jiwa. Suatu pagi saya berniat untuk melihat kondisi terakhir Desa Balerante, dengan ditemani beberapa orang teman dan seorang penduduk desa, kami melaju menggunakan motor dengan jarak kurang lebih 25 km dari posko pengungsian. Jalan yang kami lewati memang bukan jalan yang biasanya karena jalan tersebut sudah diblokir. Sepanjang jalan menuju desa ini telah terselimuti debu tebal. Pohon-pohon, daun, jalan, rumah, semua tampak pucat seperti difoto menggunakan kamera infra red. Sesampainya di Desa Balerante kami menuju tempat barak pengungsian pertama kali. Saat ini tempat tersebut sudah rata dengan tanah, untung saja waktu itu para relawan dengan sigap memindahkan para pengungsi ke tempat yang benar-benar aman, coba kalau terlambat...

Saya mencoba memandang ke arah utara, yang tampak dihadapan saya adalah sesosok Merapi yang berdiri angkuh sambil mengeluarkan asapnya lewat lubang besar yang menganga, terlihat dekat sekali. Lubang kawah itu tampaknya semakin besar, dan jalur aliran lahar ke bawah pun semakin terbuka lebar, kalau dilihat dari jauh, gunung ini seakan-akan terbelah menjadi dua. Konturnya terlihat jelas sekali karena pohon-pohon dan rumah-rumah penduduk telah habis dihantam awan panas. Sesekali suara gemuruh dikeluarkan yang sempat membuat nyali saya menciut. Sesaat mata saya tertuju pada sebuah bangunan masjid kecil tepat di depan barak pengungsian. Masjid ini tidak rusak sedikitpun, gentengnya masih utuh semua, begitu pula dengan dindingnya dan pagar yang terbuat dari bambu itu tidak hancur, hanya tertutup oleh debu. Tuhan memang Maha Pelindung...

Perjalanan kami lanjutkan ke Desa Srunen, desa ini masuk wilayah provinsi DIY. Seperti di Balerante, di desa ini juga hancur lebur akibat hantaman wedhus gembel, semua porak-poranda, bangkai binatang seperti sapi, kerbau, anjing bergelimpangan dimana-mana, bau belerang pun kalah oleh bau busuk yang ditimbulkan oleh para bangkai ini. Dalam perjalanan dari Balerante ke Srunen kami melewati Kali Woro dan jalan batas provinsi. Sebelah kiri adalah provinsi Jawa Tengah dan yang di sebelah kanan provinsi DIY. Menurut penuturan penduduk setempat ada mitos bahwa daerah yang selalu menjadi paling parah terkena dampak bencana Merapi adalah provinsi DIY, jadi seakan-akan Merapi ingin menghancurkan Daerah Istimewa Yogyakarta. Tampak seperti pada foto, bagian sebelah kiri yang masih hujau adalah provinsi Jateng dan sebelah kanan yang pohon-pohonnya tampak kering adalah provinsi DIY.

Kali Gendol
Saat ini Kali Gendol berubah jadi lautan pasir putih, semua rata dengan tanah, tidak ada yang tersisa. Bahkan seorang warga korban Merapi yang datang ke tempat ini tidak dapat mengetahui dimana letak rumahnya, semuanya hancur, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Cuaca di sini cerah sekali, saya bisa melihat Merapi mengepulkan asapnya dari kejauhan. Perlu kehati-hatian di sini dalam melangkah, sebab pasirnya mudah amblas dan masih terasa panas. Banyak juga ditemui batang-batang pohon yang masih mengeluarkan api akibat terbakar terkena awan panas, selain itu juga banyak terdapat belerang dan jamur seperti oncom yang berwarna oranye. Sepulang dari Kali Gendol, seorang warga yang mengantarkan kami melihat seekor anak kambing di semak-semak yang sedang sekarat. Kami berhenti sejenak untuk menolong kambing tersebut. Dari mulutnya keluar busa, dan nafasnya terengah-engah, di sekujur tubuhnya banyak terdapat luka bakar. Berhubung kambing tersebut masih memiliki harapan untuk hidup, dibawalah kambing itu ke tempat aman dan dipaksakan untuk minum.



Trauma Healing
Untuk menghilangkan rasa bosan di tempat pengungsian, seringkali diadakan hiburan untuk para pengungsi, seperti musik dangdut, pemutaran
film, paduan suara, dan lain-lain. Selain itu juga diadakan trauma healing dan sekolah darurat bagi anak-anak pengungsi merapi. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak dapat melupakan musibah dan menyembuhkan trauma sehingga dapat beraktifitas normal kembali. Seperti yang dilakukan oleh Marjinal (band street punk) yang sengaja jauh-jauh datang ke posko pengungsian untuk menghibur anak-anak lewat musik dan games-games yang menarik.


Pagi itu bertepatan dengan perayaan hari raya Idul Adha. Merayakan lebaran Idul Adha bersama pengungsi merupakan pengalaman saya yang tidak terlupakan, walaupun saya telat bangun tidur karena terlalu lelah seharian melayani kebutuhan para pengungsi, sehingga tidak ikut solat Ied. Pada hari itu saya hanya bisa berdoa, semoga bencana ini cepat usai, dan semua kembali normal, menata kehidupan mulai dari awal...

Ya Tuhan...lindungilah mereka semua, tabahkan hati mereka, dan semoga tidak ada korban jiwa lagi yang berjatuhan.


Tunjukkan bahwa kita semua bersaudara, luka mereka luka kita semua...

photos and text by Renky Spheriks 2010
for doc. AGL
Gear : Nikon D40x 18-55mm f/3.5-5.6 DX AF-S
Canon 20D 17-40mm f/4 L USM

No comments:

Post a Comment